10.22.2010

Cerpenku


Sinta Mencari Rama
Sinta tersenyum. Dibayangkannya wajah Rama, sahabat masa kecilnya dulu. Rama merantau ke Ibukota Jakarta sejak 10 tahun yang lalu. Saat mereka kecil, mereka selalu bermain bersama hingga beranjak dewasa sampai suatu waktu mereka harus berpisah.
Panas matahari serta hitamnya polusi tidak menghentikan langkah kakinya untuk mencari Rama. Dia membayangkan Rama yang telah 10tahun beradu nasib di Jakarta telah sukses. Tentu sekarang Rama berbeda dangan Rama di kampong dulu. Terlintas dalam pikiran Sinta kehidupan Rama yang serba canggih, memakai jas hitam dan dasi dengan sepatu yang mengkilat, pergi dengan mengendarai mobil mewah serta tinggal di rumah yang sangat besar. Membayangkan itu semua, Sinta tersenyum.
Sinta berhenti sejenak, dipandangnya kertas lusuh yang telah basah oleh keringatnya. Di situ tertulis alamat tempat tinggal Rama di Jakarata. Dia mendapatkan alamat itu dari temannya. Dia telah menjual seluruh perhiasannya untuk digunakan ongkos pergi ke Jakarta, dengan harapan semuanya akan terganti saat dia bertamu Rama.
Kini Sinta berdiri di kawasan elite Jakarta. Dia melihat begitu banyak rumah mewah berjajar, berlomba menampakkan kemewahannya. Dia kembali tersenyum saat membayangkan di salaha satu rumah tersebut tinggallah teman masa keceilnya dulu. Dia membayangkan Rama akan menyambutnya dengan senyum sumringah, dia akan diberikan berbagai macam suguhan ala luar negeri, dan dia akan disuruh menetap bersama Rama di Jakarta. Dia membayangkan mereka akan menikah dan hidup layaknya Raja dan Ratu. Tiba-tiba saja secercah sinar kembali mengobarkan semangatnya serta menghilangkan keletihannya.
Sinta menghampiri seorang penjual gado-gado keliling dan bertanya.
“Permisi pak, mau numpang tanya. Apa Bapak tau alamat ini?”,tanya Sinta penuh harap.
“Bah saya itu bukan orang sini, jangan kau tanya aku”, jawab orang tadi dengan logat bataknya.
Dengan lesu Sinta berjalan pergi. Ketika ada seorang wanita tua lewat, dia kembali bertanya.
“Permisi bu, mau numpang tanya. Apa Ibu tau alamat ini?”,tanya Sinta dengan nada harapan.
“Owh, ini dekat dek. Adek tinggal lurus dan masuk ke gang di antara dua rumah besar bercat kuning dan hijau itu”, kata Ibu-ibu tadi.
“Terimakasih bu”, kata Sinta sambil teresenyum.
Setelah terjadi dialog beberapa saat, Sinta mulai beranjak pergi. Sinta berjalan sesuai dengan apa yang telah diinstruksikan ibu tadi. Dan di sinilah dia sekarang, berdiri di depan gang kecil. Dia harus berjalan 200 m memasuki gang tersebut. Setiapa langkah seakan memacu jantungnya untuk berdetak lebih cepat, seakan mau meledak. Dia terus berjalan dan mencari rumah bercat kuning. Tapi tak ada satupun rumah di situ yang bercat kuning. Dengan lesu Sint berbalik.
“Sinta”
Sinta kaget saat sebuah suara memanggil namanya. Seorang laki-laki kumal dangan baju berwarna coklat menghampirinya.
“Kamu Sinta kan. Teman masa kecilku di Indramayu. Aku Rama”, kata lelaki itu sambil mengguncang badan Sinta seakan dia bermimpi. “Aku tak percaya kau ada di sini”, lanjutnya.
Sinta tertegun beberapa saat. Dipandangnya laki-laki dihadapannya. Begitu kurus, hitam serta tampak tua. Berbagai perasaan tercampur baur jadi satu dalam hatinya.
“Kamu kok bias kesini. Kamu pasti capek sekali. Yuk ke rumahku, itu rumahku. Ayo”, kata laki-laki itu sambil memasuki rumah yang kini disadarinya berwarna kuning, hanya saja catnya telah pudar dan terkelupas di sana sini.
Sinta berjalan dalam diam mengikuti Rama. Sinar harapan yang tadi berkobar dalam hatiny, kini perlahan memudar seiring langkah kakinya menapak. Sebuah lubang kekecewaan menganga dalam hatinya. Tetapi mendadak saja raut wajah Sinta berubah. Dia tersenyum.
“AKU KANGEN KAMU RAMA”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar