Title : My Secret Twin
Genre : Family, Family, Rommance
Rating : T
Cast : Kim Ji Woon (OC)
Kim Jong Woon
Kim Jong Jin
All Super Junior member
*misterius namja*
-*-*-*
Author POV
Seorang namja menyambar jaket kulitnya
seraya berlari keluar dari kamarnya.
“Hyung,
eodigayo?” namja lain dengan spatula di tangannya menyapa namja
berambut blonde tersebut. Tapi yang
dipanggil tak acuh.
Namja itu terus berlari menuju tempat parkir.
Dipacunya mobil putih miliknya.
“Ji Woon-ah”
Yesung POV
Aku terus memacu mobilku menuju satu
tempat, rumah sakit. Aku masih terngiang dengan perkataan Jong Jin di telpon
tadi.
“Hyung,
Ji Woon noona membuka matanya. Datanglah ke rumah sakit sekarang. Eomma dan
Appa sudah ada di sini.”
‘Brakkk’
Kututup pintu mobil dengan keras. Aku
berlari menuju ruang isolasi yang selama 8 tahun ini dihuni oleh Ji Woon. Kulihat
Jong Jin menungguku di luar kamar. Dia tersenyum melihatku.
“Hyung.”
Aku menghampirinya. Matanya sembab tapi
wajahnya sumringah.
“Jong Jin-ah, apa yang terjadi?” aku
memegang bahunya. Dia menarik tanganku untuk masuk ke dalam.
“Jong Woon-ah.”
Eomma menghampiri dan memelukku.
“Ji Woon sadar,” eomma menangis seraya
memelukku. Aku terpaku melihat sesosok tubuh yang terbaring lemah di ranjang
putih penuh dengan selang tersebut. Aku melepas pelukan eomma dan menghampiri
yeoja yang ada di ranjang itu. Yeoja itu terdiam. Dia menatapku bingung.
“Ji Woon-ah? Benarkah kau bangun,”
tanganku terulur untuk menyentuh wajahnya. Tanganku bergetar, mataku memanas
seakan tak percaya kalau hari ini akan tiba.
“Andwe.... Nuguseyo,” dia menampik
tanganku. Dia terlihat takut. “Eomma aku takut.”
Aku kaget. Apa maksudnya. Kenapa dia tak
mengenaliku?
“Ji Woon ah, aku Jong Woon. Kau tak
mengenaliku?” aku merasa ada cairan yang meleleh pelan di pipiku.
“Hyung, dia tak mengenaliku juga. Dia
menolakku. Dia juga menampik tanganku,” Jong Jin merangkulku dan menangis
pelan. Hatiku mencelos. Ada apa ini sebenarnya? Apa mungkin dia mengalami
amnesia?
“Eomma, Appa dimana nae dongsaeng? Dimana
Jong Woon, kenapa mereka tak datang juga?” kami tersentak kaget. Bingung dengan
apa yang dikatakannya.
“Ji Woon-ah, aku Jong Woon. Dongsaeng
kita juga ada di sini. Kenapa kau mencari Jong Jin,” aku mengguncang badannya
pelan. Dia terlihat semakin takut. Aku menghela napas. Aku keluar, memutuskan
untuk menemui uisa. Tepat sebelum aku keluar, uisa masuk bersama dengan seorang
yeoja muda memakai baju serba putih.
----------
“Ini wajar terjadi. Ji Woon-ssi koma
selama 8 tahun. Dia tidak mengenali Jong Woon-ssi dan Jong Jin-ssi karena
kalian berbeda dengan yang diingatnya. Saya harap kalian bisa menjelaskannya
secara pelan-pelan,” aku terpaku mendengar penjelasan uisa. Aku menutup mataku
dan menghela napas berat. Senyuman mengembang di bibirku. Terimakasih Tuhan,
Kau telah memberiku kesempatan untuk
menjaganya, menjaga separuh nyawaku.
“Hyung, apa yang harus kita lakukan?” aku
menoleh pada Jong Jin. Raut putus asa tergambar jelas di wajahnya.
“Biar hyung yang mencoba menjelaskan,”
aku menepuk pundaknya pelan. Dia mengangguk padaku. Aku mengajaknya untuk masuk
ke dalam ruangan Ji Woon kembali. Saat aku masuk, kulihat Ji Woon tengah duduk
bersandar. Dia tampak sangat lemah. Ingin sekali aku memeluknya dan menangis.
Aku benar-benar merindukannya.
“Ji Woon-ah,” aku memanggilnya pelan. Dia
tidak setakut tadi, mungkin karena eomma di sampingnya. Aku mendekat dan duduk
di dekat eomma.
“Ji Woon-ah, gwaenchana?” tanganku
bergetar, berusaha menyentuh pipinya. Aku masih tak percaya dia sadar.
“Nuguseyo?” dia memundurkan wajahnya
takut-takut. Aku tersenyum. Aku merasakan cairan hangat itu kembali meleleh
menelusuri pipiku.
“Na? Aku Jong Woon. Kau jahat sekali
melupakanku,” aku berusaha untuk tersenyum. Dia terlihat semakin bingung.
“Ji Woon-ah, aku senang kau akhirnya
bangun. Kenapa kau tidur lama sekali sampai tak mengenaliku. Bagaimana bisa kau
tidur selama 8 tahun? Kau tak kasihan pada separuh nyawamu?” aku berusaha
menyentuhnya kembali. Aku hanya ingin memastikan ini semua nyata.
“Apa maksudmu? Aku tidur 8 tahun?” dia tak
juga mengerti. Aku mendesah pelan. Aku meraih cermin yang ada di meja dan
kusodorkan padanya. Dia terlihat kaget.
“Eomma !! Apa yang terjadi pada wajahku?
Kenapa aku seperti ini. Siapa yang ada di cermin itu?” dia semakin terlihat
takut. Aku menoyor pelan kepalanya yang membuahkan jitakan dari eommaku.
“Pabo !! Kau tak mengerti juga? Aku Jong
Woon dan kau Ji Woon. Kini kita berusia 29 tahun. Ayolah,” dia terdiam.
“Koma?” aku mengangguk pelan.
“Bukankah kau mengalami kecelakan saat
kau pulang kuliah. Ingatkah kau?” dia tetap terdiam.
“Eomma, apa benar semua ini?” matanya
berair. Dia menangis. Aku hanya bisa mendesah pelan. Eomma mengangguk kecil.
“Dia benar Ji Woon-ah. Dia memang Jong
Woon, saudara kembarmu. Dan namja yang sedari tadi tak mau berhenti menangis
itu dongsaengmu, Jong Jin,” Ji Woon terdiam.
“Bolehkah sekarang aku memelukmu?” tanpa
menunggu jawabannya, aku langsung memeluknya. Pelukan ini sangat kurindukan.
Rasanya aku baru saja menemukan bagian dari hatiku yang selama ini menghilang.
“Kenapa kau tidur lama sekali. Kau tau, aku sangat menderita karena kau pergi.
Apa kau lupa kalau kita itu satu?”
Aku semakin erat memeluknya. Bahunya
bergetar pertanda menangis. Dia melepas pelukanku.
“Kemarilah Jong Jin-ah,” Ji Woon
memanggil uri dongsaeng. Jong Jin melangkah ragu pada kami.
“Nuna-ya,” Ji Woon merentangkan tangannya
dan Jong Jin langsung menghambur ke pelukannya. Jong Jin menangis keras.
“Nuna, kau membuatku takut. Kenapa kau
tak mengenaliku. Nuna, aku sangat takut kehilangan noona. Aku tak ingin noona
meninggalkanku,” dia menangis keras seperti saat Ji Woon kecelakaan dulu. aku
tersenyum.
“Yaa, Jong Jin-ah kau itu namja, jangan
menangis seperti itu,” aku menjitak kepalanya pelan.
“Appo hyung”
“Eomma, Appa apa yang terjadi selama ini.
Bagaimana bisa aku tertidur lama sekali,” Ji Woon terpekur. Dia meringis pelan.
“Eomma ! Aku... aku tak bisa menggerakkan kakiku. Badanku juga sulit bergerak.
Eomma aku kenapa?”
Ji Woon panik. Uisa mendekati Ji Woonie
dan mengetuk pelan lututnya. Ji Woon sedikit meringis. Aku hanya diam, takut
dengan kemungkinan buruk yang akan terjadi.
“Gwaenchana Ji Woon-ssi. Kau tidak
lumpuh. Kakimu dan badanmu hanyalah kaku karena terlalu lama tak bergerak. Kau
hanya perlu terapi. Aku akan menyiapkan jadwal terapi untukmu,” aku mendesah
lega karena jawaban Uisa tadi tak seperti yang aku pikirkan.
“Bagaimana keadaannya uisa?” tanyaku saat
aku di luar bersama uisa tadi.
“Ini sebuah keajaiban. Aku pernah
mendengar cerita tentang seorang gadis
yang koma 12 tahun dan dia bisa bangun kembali. Tak kusangka aku sendiri
memiliki pasien seperti itu. Ini semua sungguh menakjubkan. Ji Woon koma 8
tahun dan dia sadar kembali. Padahal menurut pemeriksaanku, dia tak mempunyai
harapan hidup. Tapi kini Ji Woon membuatku terpana. Keadaan tubuhnya juga
membaik. Luka dalamnya juga berangsur sembuh. Kita perlu memantaunya seminggu
ini. Mungkin dia bisa pulang secepatnya melihat keadaannya sekarang,” aku
tersenyum sedikit.
“Syukurlah. Saya benar-benar senang
mendengarnya. Terimakasih uisa, karena uisa sudah merawat Ji Woon selama 8
tahun ini. Saya tak akan pernah melupakan kebaikan anda,” aku membungkuk
sebelum pamit untuk kembali ke kamar. Saat aku masuk kembali, kulihat Jong Jin
tengah mengelap tangan Ji Woon.
“Ji Woon ah, apa yang kau rasakan sekarang?
Kau tak lelah tidur selama itu?” tanyaku seraya duduk di sofa bersama
Appa. Eomma duduk di samping ranjang.
“Sejujurnya, aku masih bingung dengan ini
semua. Aku merasa hanya sekedar tidur. Dan saat aku bangun, aku menemukan
banyak orang baru. Aku seperti merasa terjebak di tubuh orang lain saat aku
melihat ke cermin. Aku kangen dengan rumah kita. Appa kapan kita pulang ke
Cheonan? Aku benar-benar merindukan rumah kita,” Appa hanya tersenyum mendengar
pertanyaan Ji Woon.
“Kita sudah pindah ke Seoul chaggi. Jong
Woon bekerja di Seoul. Kasihan dia kalau harus pulang pergi dari Seoul ke
Cheonan. Lagipula appa dan eomma punya
bisnis di Seoul,” Ji Woon kembali terdiam.
“Sebenarnya berapa banyak peristiwa yang
kulewatkan?” aku merasakan kesedihan yang dirasakan oleh Ji Woon. Aku bangkit
dan mendekatinya. Aku menepuk pundaknya pelan.
“Tenanglah, aku akan membantumu untuk
mengenal dunia. Kau tak perlu sedih,” dia tersenyum menatapku.
‘Drrtt
ddrrrtt’
kurogoh sakuku untuk ponselku.
From
: Jungsoo hyung
Yaa
! Kau tak lupa dengan jadwal latihan kan? Kau belum memberikan kami part lagu
untuk album repackage kita. Pulang sekarang, Ddangkoma sudah siap di
penggorengan.
Aku melonjak. Panik. Seketika kusambar
jaketku, kupakai topi dan kacamataku. Aku sedikit membenahi rambutku.
“Eomma, aku lupa ada jadwal. Ddangkoma
sudah siap di goreng Jungsoo hyung jika aku tak pulang sekarang. Aish, aku
benci pak tua itu. Argh aku ingin di sini lebih lama,” hatiku agak berat untuk
meninggalkan Ji Woon yang baru tersadar.
“Gwaenchana adeul. Kamu pergi saja
sekarang. Kasihan dongsaeng dan hyungmu. Mereka pasti menunggumu daritadi.
Sampaikan salam eomma untuk mereka. Biar kami yang menjaga Ji Woon,” eomma
mengelus kepalaku pelan. Ah eomma kau memang selalu bisa menenangkanku. Aku
mengangguk kecil.
“Ya yeoja jelek, aku pergi dulu ya. Kau
harus jaga dirimu baik-baik. Cepat sembuh arrachi. Aku akan usahakan untuk
secepatnya kembali ke sini. Turuti perkataan dokter. Awas kalau kau kerasa
kepala dan coba-coba berbohong. Aku akan tau semuanya,” aku kembali menoyor
kepalanya pelan. Dia hanya meringis pelan. Bergegas aku pergi meninggalkan
tempatku. Langkahku terhenti saat hendak
membuka pintu. Sebuah pikiran terlintas di benakku. Aku berbalik dan menghadap
appaku.
“Appa, bisakah Ji Woon menyembunyikan
statusnya sebagai kembaranku? Bisakah hanya keluarga kita dan orang tertentu
saja yang tau kalau aku punya kembaran? Bisakah kita menyembunyikan status itu
dari siapapun termasuk Super Junior?” appaku sedikit tersentak, begitu juga
eomma dan Jong Jin. Ji Woon menatapku marah. Aku dapat merasakan kalau dia
sedih dengan apa yang kukatakan.
“Yaa hyung apa maksudmu? Kau malu
mempunyai kembaran? Apa itu akan menurunkan popularitasmu?” aku terdiam
sejenak.
“Anio. Aku sama sekali tak memikirkan itu.
Hanya saja, aku tak ingin Ji Woon kehidupannya terusik. Aku tak ingin
orang-orang memanfaatkannya. Aku ingin dia mempunyai privasi dan kebebasan
dalam kehidupannya. Apalagi kalau sampai media tau, Ji Woon pasti tak akan
memiliki ruang gerak. Pasti akan banyak yang memburu beritanya. Aku ingin Ji
Woon mengalami kehidupan normal. Aku tak ingin dia seperti Jong Jin. Katakan
padaku Jong Jin, apakah kau selama ini merasa hidup bebas?” aku menatap lekat
ke mata sipit dongsaengku. Dia mendesah kecil.
“Anio hyung. Kau benar. Baiklah aku
setuju,” dia mengangguk pelan. Ji Woon hanya memandang kami bingung.
“Baiklah aku berangkat sekarang.
Percayalah, suatu saat jika waktunya tepat, aku akan mengungkapkan jati diri Ji
Woon. Untuk semantara ini, aku ingin Ji Woon fokus untuk pemulihannya. Aku
ingin Ji Woon menyesuaikan diri dengan dunia sekarang. Aku tak ingin dia
terusik untuk sementara waktu. Tapi yakinlah bahwa ini tidak selamanya,” aku
mengangguk kecil dan bergegas meninggalkan mereka. Aku tersenyum saat menutup pintu
mobilku dari dalam.
“Ji Woon-ah, welcome back.”
TBC
Tidak ada komentar:
Posting Komentar